Menapak Jejak Terakhir Sang Jaka Tingkir

“Maneka warna cahyane donya kang dadi punjere yaiku srengenge nanging cahyane manungsa iku ana ing jeroning ati”

Berbagai warna di dunia berasal dari  matahari sebagai pusat cahaya dunia, namun cahaya dalam diri manusia berasal dari hati.

Di suatu tempat yang jauh dari keramaian, pada suatu masa. Bermula dari Ki Ageng Butuh (Raden Kebo Kenanga) yang menjadi Adipati Pengging II (Boyolali hingga Salatiga) menggantikan ayahanda KA Handayaningrat (Pengging I) mendapat semacam perintah untuk menghadap ke Kerajaan Demak, karena Pengging termasuk bawahan Kasultanan Demak, setelah runtuhnya Majapahit.

Sunan Kudus mengutarakan maksud kedatangannya. Hanya saja Ki Ageng tetap pada pendiriannya untuk tidak bersedia menghadap raja ke Demak, dengan segenap alasan yang mungkin hanya dipahami oleh mereka berdua saja. Maka dipilihlah kebijakan yang tidak menjadikan rakyat sebagai korban pertikaian: Ki Ageng harus meninggalkan Pengging. Maka bersama sang istri, berangkatlah Ki Ageng ke arah Timur dan sampailah di suatu tempat.

 

“Ngenggonana marang bab kang wis kasinau banjur wadhahana kanggo sangu ubaranti urip ana ing alam donya

Peganglah pelajaran yang telah anda pahami dan ambillah hikmahnya untuk bekal menjalani kehidupan selanjutnya.

Jaka Tingkir putra dari KA Kebo Kenanga dari pernikahannya dengan Roro Alit putri Sunan Lawu. Sunan Lawu adalah putra dari Prabu Brawijaya V. Kisah ini bukan sebuah legenda tetapi sejarah yang hingga kini masih terbungkus secara apik dalam cerita. Menelusuri perjalanan Sultan yang bernama kecil Mas Karebet ini menghasilkan sebuah kesimpulan. Djoko Tingkir  bukan hanya cerita milik Sragen.

Jaka Tingkir

Melebihi pemahaman sempit yang melekat pada masyarakat kita. Jaka Tingkir adalah sejarah milik Jawa Tengah, pulau Jawa lebih tepatnya. Menapaki kisah Jaka Tingkir adalah mengenal perjalanan panjang Nusantara. Jauh sebelum Belanda menginjakkan kaki di tanah air, Jaka Tingkir beserta segenap cerita yang mengiringinya, memang telah lebih dulu berjaya.

Raden Patah rela berlari dari Majapahit menuju ke barat untuk mendirikan Demak, kita menandainya sebagai Demak I (1485-1519), berlanjut pada Patiunus yang memegang Demak II (1519-1521), hingga Demak III (1521-1550) yang berada dalam genggaman Sultan Trenggono.

Sejarah dimulai kembali, Jaka Tingkir yang mulai menginjak dewasa diperintahkan supaya mengabdi. Perjalanan melalui sungai Bengawan Solo menggunakan gethek (rakit) bersama tiga sahabatnya telah mengantarkan Jaka Tingkir pada Demak. Kekisruhan yang diakibatkan oleh adanya kerbau yang mengamuk dan hanya Jaka Tingkir yang dapat menundukkannya telah meluluhkan hati raja Demak III untuk menjadikan Jaka Tingkir sebagai menantu dan bergelar Adipati Hadiwijaya setelah memperistri Ratu Mas Cempaka putri Sultan Trenggono.

Sepeninggal Sultan Trenggono situasi Demak semakin memanas, banyak rencana untuk menutup jalan sang Adipati Hadiwijaya supaya tidak sampai menduduki tahta kerajaan, sebab yang dihadapi bukanlah musuh namun masih satu keturunan anak cucu Prabu Brawijaya  V Majapahit (Mojokerto)-Singhasari (Malang). Maka Adipati tidak ingin melakukan perlawanan , sebab ‘Wani ngalah iku luhur wekasane, Menang tanpa ngasorake’.

Adipati Hadiwijaya yang tidak menaruh kebencian kepada orang yang memusuhinya serta menyelesaikan masalah tanpa memperkeruh persoalan membuat pihak kerajaan Demak mengangkatnya menjadi raja Demak IV dengan gelar Sultan Hadiwijaya. Hingga ibukota Demak dipindahkan ke Pajang Kartasura (Sukoharjo-Surakarta) demi menjaga keamanan rakyat sehingga gelar menjadi Sultan Hadiwijaya raja Pajang I. Selama 40 tahun berlangsung, kerajaan Pajang merangkul semua kalangan dengan tidak membeda-bedakan latar belakang keyakinan, suku, dan kasta karena semua adalah pendukung terciptanya situasi kerajaan yang damai, aman, dan makmur.

 

Makam Butuh (Gedongan, Plupuh, Sragen)

Buku cerita akan menyuguhkan kita banyak versi yang berbeda, namun saatnya nalar yang bekerja. Jaka Tingkir tidak kalah dalam berperang melawan putra angkatnya yang bernama Pangeran Benawa. Jaka Tingkir tidak mati terbunuh oleh lawannya.

“Bagaimana bisa? Jangankan beliau mati terbunuh jika senopati yang mengawalnya saja dapat dengan mudah mengalahkan setiap orang yang ingin mencelakainya?” Sepenggal kalimat yang dikemukakan oleh Aziz, Juru Kunci Makam Butuh.

Kalaupun dibuat cerita Sultan Hadiwijaya kalah perang, maknai bahwa mengalah bukan berarti kalah, tanding jika sebanding. Sultan Hadiwijaya hanya mengurusi hal yang sifatnya membahayakan. Saatnya meluruskan sejarah sesuai versi yang mendekati kebenarannya. Di persinggahan terakhir ini kita akan menemukan jawabannya.

Sebab usia telah sepuh, Sultan berkeinginan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Beliau memilih menghabiskan masa tua dalam ketenangan desa mengikuti jejak orangtuanya. Maka dusun pinggir sungai Bengawan Solo bernama Butuh dipilih sebagai ‘rumah’ terakhir oleh garwa dari Raden Mas Cempaka.

Beliau meninggal dan dimakamkan satu komplek dengan makam orangtuanya, ki Ageng Butuh bersama istrinya. Salah satu peninggalan yang ada adalah Masjid Butuh. Masjid yang bertuliskan angka Arab 1852, yang menunjukkan bahwa keberadaan masjid itu diperkirakan jauh sebelum tahun yang tertera. Bila melihat masanya sezaman dengan kerajaan Demak, kemungkinan pada waktu itu masih belum ada pembangunan, hanya sebuah tempat beribadah semacam surau. Selanjutnya telah mengalami beberapa kali pemugaran terutama pada masa sinuhun PB X terakhir kali pada tahun 2005 dan telah diresmikan sebagai cagar budaya kabupaten Sragen sesuai SK Bupati tahun 2018.

Makam dan Masjid Butuh yang setiap hari ramai dikunjungi peziarah ini menjadi bukti sejarah bahwa di zaman itu agama telah berkembang namun seiring berjalannya waktu kesadaran masyarakat mulai luntur, maka tugas kita adalah memajukan kembali. Mengunjungi makam untuk mengingat dan  mendoakan orang-orang yang menjadi pendiri bangsa. (Wiwin/ Kontributor)

Bagikan