Kopi Lelet Rembang Dan Kisah Galangan Kapal

Rembang memiliki kopi khas. Kopi lelet namanya. Minuman itu banyak dijumpai di sebagian besar warung kopi. Tak hanya sekadar diseduh lalu disruput. Kopi Lasem juga memiliki sejarah. Yang berhubungan dengan galangan kapal.

Kopi ini seperti pada umumnya. Hitam warnanya. Pahit rasanya. Tetapi, biasanya masyarakat Rembang punya cara menikmati yang khas, yakni dengan meleletkan ampasnya ke rokok. Cara menikmatinya, biasanya, setelah kopi disajikan, ampas bisa dipisahkan dan diitaruh pada lepek (piring kecil) terpisah, lalu dicampur dengan susu sesuai selera. Tekstur ampas kopi itu memang halus. 

Ernantoro, dari ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) Rembang mengungkapkan bahwa aktivitas nglelet ini berawal dari wilayah Lasem, Rembang. Ernatoro menunjukkan denah perkembangan kopi lelet yang dulunya dikenal kopi sedulit. Pada 1930, kata Toro, di Desa Dasun kecamatan Lasem, Rembang, terdapat galangan kapal milik tuan Berendsen yang merupakan seorang warga negara Belanda.

Di seberang galangan tersebu,t tepatnya di desa Gedongmulyo, terdapat  warung-warung yang menjual kopi untuk para pekerja di galangan kapal. Jumlah warung tersebut cukup banyak mengingat galangan itu memiliki  enam dok kapal yang berjejer. Usai bekerja di galangan kapal biasa para pekerja menyebrangi sungai Babagan yang membelah wilayah Lasem saat itu. Ada jembatan yang menghubungkan

Para pekerja itu menikmati secangkir kopi. Dari situ, mereka memiliki kebiasaan unik untuk menambah awet rokok dengan mengoleskan ampas kopi. Yang sudah mereka minum sebelumnya. Cara mengoleskannya dengan menggunakan tangan atau didulit. Kebiasaan tersebut menular dari pekerja satu ke pekerja yang lain hingga kawasan warung tersebut dikenal dengan warung kopi sedulit.

Seiring berjalannya waktu,  Jepang telah memukul mundur tentara Belanda dan mengambil alih kekuasaan pada 1942. Warga Belanda yang masih ada di Indonesia merasa terancam hingga Herlena, anak perempuan Berendsen yang mewarisi galangan kapal. Setelah Berendsen kembali ke negara asalnya.

Galangan kapal itu pun dibakar. Agar tidak dikuasai Jepang kala itu. Herlena pun beranjak ke Kabupaten Blora. Belum diketahui alasan Herlena kenapa meninggalkan Rembang.

Galangan kapal sudah terbakar habis, sehingga warung kopi menjadi sepi. Toro menceritakan ada salah satu nama dari pemilik warung kopi itu. Mbah Toyib namanya.  Mbah Toyib pindah berjualan kopi di Desa Ngemplak, Kecamatan Lasem, arah pegunungan Laasem.

"Akibat desakan tentara Jepang, dan galangan kapal juga sudah terbakar, tidak ada yang kerja disana lagi akhirnya Mbah Toyib ini pindah jualannya," ujar Toro.

Perbedaan kopi sedulit dengan kopi lelet sendiri terletak pada cara mengoleskan ampas kopi ke batang rokok. Jika sedulit yang dulu itu menggunakan jari tangan saat mengoleskan ampas kopi. Cara pengolesannyapun asal-asalan tanpa pola. Namu jika kopi lelet sudah menggunakan alat berupa sendok, benang, dan lidi untuk mengoleskan ampas kopi ke batang rokok. Terkadang ada orang  yang membentuk pola dan motif yang menarik dan unik. (Vachri)

 

Bagikan