Jelajah Sejarah Di Klenteng Cu An Kiong

Lasem, sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang memiliki nilai kearifan dan beragam sejarah. Mulai jalur perdagangan, hingga pendaratan rombongan Ceng Ho.  Beberapa waktu lalu, saya mencoba berkeliling Lasem. Saya didampingi oleh Ernantoro, salah satu pegiat sejarah di Lasem, juga ketua Forum Komunikasi Masyarakat Sejarah (Fokmas) Lasem mengunjungi beberapa Klenteng di Lasem, salah satunya ialah Klenteng Cu An Kiong.

Gapura berwarna pink menyambut saya saat memasuki area Klenteng. Saya menemui ulisan-tulisan tiongkok dan beberapa gambar seperti relief. Beberapa ornamen di area klenteng, katanya, juga masih asli, seperti patung naga yang ada di genteng, hingga ukiran-ukiran yang ada di langit-langit. Catnya memang sudah agak kusam, tetapi masih tetap artistik.

Di beberapa bagian dinding klenteng terpampang gambar-gambar. Jika dilihat seperti membentuk sebuah cerita. Narasinya pun menggunakan tulisan tiongkok. Klenteng Cu An Kiong ini cukup luas dan memiliki beberapa ruangan. Ada bagian altar dan ruangan lain yang khusus diisi oleh puluhan Kio atau tandu untuk mengangkat dewa apabila ada acara kirab tertentu. Kata Irawan, penjaga Klenteng, ada Kio yang usianya sekitar 600 tahun.

Tepat di depan klenteng, ada sungai Babagan.  Kata Toro, sungai Babagan merupakan jalur utama masuknya warga tionghoa ke Lasem. Dulu. sebelum tahun 1.300-an, orang-orang Tiongkok mulai berdagang. Kapalnya berlabuh di sekitar pantai. Pada saat itu, lebar sungai cukup luas, sehingga bisa digunakan lalu-lalang kapal. Dari perdagangan itulah warga tionghoa beraktifitas di Lasem.

Sebelum menetap, orang-orang Tiongkok bermukim cukup lama di Lasem sembari menunggu angin yang menggerakkan kapal layar untuk pulang. Sampai akhirnya, sekitar 1300, datanglah Cheng Ho. Sang Laksamana singgah di Lasem pada perjalanan dunia yang ke-empat. ”Bukan hanya di Lasem. Karena kapalnya (Cheng ho) banyak. Jadi merapatnya dari Tuban hingga Semarang,” tutur Pak Toro.

Dari rombongan Cheng Ho itu, ada keluarga yang tidak kembali. Namanya Binang Un dan mempunyai istri Putri Nalini. Mereka memiliki dua putra, bernama binang na (laki-laki) dan Binang ti (perempuan), yang kemudian dikenal dengan putri campa. Makam Putri Campa terdapat di Pasujudan Sunan Bonang. Binang ti, membawa motif-motif batik dari Campa. ”Bukan batik tulis. Tapi motif-motifnya saja. Dia juga membawa merak, buah delima, padi campa. Yang sekarang kita makan itu,” imbuh Toro. Sementara Binang na, lanjut Toro, berprofesi membuat gamelan Gong. Pola interaksi antar etnis pun berjalan di Lasem. Aktivitas itu terus berlangsung. Toleransi pun terpupuk. 

Di halaman klenteng terdapat Monumen Perlawanan Laskar Tionghoa dan Jawa Melawan VOC 1740-1743.  Kata Toro, dulu, di Lasem pernah terjadi perang di mana Pasukan Islam, Jawa, dan Tionghoa bersatu untuk melawan VOC. (Vachri)

 

Bagikan